Tiada hari tanpa pagi, kedua katup yang tertutup dimalam hari mulai kubuka perlahan dimana cahaya membuat perih retinaku yang baru bersiap menatap dunia. Setiap individu punya tugas masing-masing dalam mengarungi samudera kehidupan ini, akupun lekas bergegas dan bersiap menunaikan tugas sebagai pencerdas generasi penerus bangsa ini.
Seperti biasanya untuk menjalankan tugas ini, aku senantiasa bertemu dan berinteraksi dengan serdadu penuntut ilmu di dalam ruangan beraroma kayu dan buku. Dengan pemandangan papan bertuliskan angka dan huruf, entah kenapa hari ini sedikit berbeda dari biasanya.
Satu kata hari ini keluar dari mulutku, “ Siapa yang maju duluan?”
Ruangan ini seketika berubah menjadi jeruji besi satu pintu. Dimana setiap tahanan ketakutan dengan wajah tertunduk seolah awan hitam sedang berwisata di kepala serdaduku. Sejenak, aku jadi berfikir apakah topik makanan khas dengan tema peternakan dan pertanian ini terlalu sulit bagi mereka? Aku mulai memutar otak menemukan cara agar keheningan ruangan jeruji besi satu pintu bisa terpecahkan.
Krasak
krusuk mulai terdengar di balik bangku. Beberapa nama yang kupanggil selalu
berbalas dengan gelengan dan gaya malu-malu. Ternyata pengetahuan saja tak
cukup untuk mercerdaskan kehidupan
bangsa ini. Mereka tidak menyampaikan hal yang salah, namun kenapa mereka harus
malu dan ketakutan. Tidak ada gunanya pengetahuan jika dibungkam dengan
ketakutan pikirku. Apa gerangan yang terjadi dengan mereka? Sepuluh menit
penantianku dengan pemandangan awan hitam tertunduk menghadap bumi akhirnya
terkuak oleh satu siswaku yang melangkah kedepan.
“Saya
coba, Bu !” ucapnya dengan mantap. Ya, ia Syifa siswa andalanku di kelas ini.
Tiba-tiba keheningan berubah menjadi suara komentator dengan
sengit menertawakan Syifa yang telah memberanikan diri. Tersentak, akhirnya aku
sadar inilah sebabnya para siswa lain malu untuk melangkah maju. Sambil
beristiqfar, kuhembuskan nafas pelan-pelan.
Setelah siswa tadi tampil, Ku berkata “ Kita beri applause untuk teman kita yang tampil”.
Sambil
bersorak mereka memberi applause
untuk temannya.
“Ini
Buk sebabnya, kenapa kami malas tampil. Teman-teman di kelas ini banyak yang suka
mencemooh Buk,” kata mereka.
Aku
segera menangkap benang merah yang terjadi di kelas ini. Marah bukan cara yang
bijaksana pikirku, walaupun di awal tadi aku hampir tersulut emosi.
“Oke,
baiklah Ananda semuanya sebelum kita lanjutkan, maukah kalian semua mendengar
kisah ibuk?” kataku.
Wajah
serdaduku serentak berubah sumringah.
“Mau
Buk,” jawab mereka serempak. Seketika kabut yang menggelayuti wajah mereka
seakan sirna.
“Pernah
dengar cerita Si Kodok Budek? tanyaku.
Mereka
sangat antusias.
“Belum
Buk,” jawab mereka kompak.
Ini
saat yang tepat buatku berbagi kisah inspirasi dengan mereka yang kuanggap
serdadu yang siap melesat kapan saja. Maka mengalirlah ceritaku tentang seekor
kodok yang budek. Ceritanya bermula, suatu hari kodok ini jatuh ke dalam lubang
yang sangat dalam. Si kodok putus asa karena lubangnya sangat dalam, namun
tiba-tiba si kodok melihat kerumunan teman-temannya bersorak menyemangatinya
untuk bangkit. Secercah harapan itu muncul, si kodok berusaha melompat. Setiap kali
terjatuh semakin riuh terdengar olehnya suara teman-temannya menyemangatinya.
Dia terus berusaha dan berusaha hingga akhirnya si kodok tadi berhasil keluar
dari lubang. Teman-teman si kodok melongo seakan tidak percaya.
“Bagaimana
bisa si kodok ini bisa berhasil keluar lubang?” tanya kodok yang lain heran.
“Padahal
kita tadi sudah mengatakan ia tidak akan berhasil,” lanjut kodok yang lainnya.
Mereka
semua sudah menyoraki kodok ini untuk berhenti.
“Hei
hentikan usahamu itu, tak akan mungkin berhasil sudah banyak yang mencoba
tetapi tak ada satupun yang berhasil, “ sorak mereka.
Namun
riuh suara sorakan teman-temannya disangka pemberian semangat oleh si kodok.
“Tahukah
kalian apa penyebabnya?” tanyaku pada mereka.
“Ternyata
si kodok budek,” lanjutku.
“Ia
tidak mendengar, ia menyangka bahwa teman-temannya menyorakinya untuk segera
keluar,” ujarku.
Serentak
semua siswaku tertawa.
“Untung kodoknya budek ya Buk,” kata mereka sambil tertawa.
“Ya,
terkadang dalam hidup ini sekali-kali
perlu menjadi budeg agar kita tidak terpengaruh dengan cemoohan orang lain.
Tapi bukan budek ketika dinasehati ya,” lanjut saya.
“Memang
dalam hidup ini, kita tidak akan terlepas dari komentar orang lain. Apakah itu
komentar positif ataupun komentar negatif. Apakah dengan komentar tadi kita
akan menjadi lemah? Atau surut kebelakang? Tentu tidak bukan. Terkadang
cemoohan itulah nantinya yang akan jadi batu loncatan untuk sukses kita
kedepannya. Sebagai ajang pembuktian bahwa semua orang berhak untuk sukses,”
ujarku.
Setelah mendengar cerita tadi, kembali mereka antusias
mempresentasikan tugasnya ke depan. Alhamdulillah kami sama-sama mendapatkan
pembelajaran berharga hari ini. Inilah titik balikku dalam mengajar.
Terimakasih serdadu kecilku, kalian guru terbaikku kelas IX E.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar